Takdir Tuhan dan Modernisasi



Takdir merupakan hal yang wajib dipercaya oleh manusia, bahwa di atas semuanya adalah Tuhan yang berkehendak. Tetapi manusia dalam kedudukannya sebagai kholifah di muka bumi diberi potensi untuk berusaha dan berkehidupan sesuai pilihannya. Takdir manusiawi itu disebut Takdir Muallaq, sebagai lawan dari Takdir Mubram yang sudah ditentukan oleh Tuhan. Semisal dari Takdir manusiawi atau ikhtiari (usaha) adalah jalan rejeki dan kehidupan duniawi lainnya. Tetapi dalam perjalanannya, baik takdir muallaq ataupun mubram sama-sama harus diusahakan oleh setiap manusia di dunia. Maka dari itu Tuhan memberi manusia dua potensi dalam dirinya, baik dan buruk yang semuanya tergantung pada akal dan hati. Aliran yang mempercayai pola seperti ini disebut aliran Maturidiyah, pertengahan dari Jabariyah dan Qodariyah.
Di beberapa wilayah belahan dunia, ada sebagian orang yang konsisten dengan aliran jabariyah. Terutama mereka kaum shufi dan ahli Thariqah. Mereka serta merta mengesampingkan kehidupan duniawi (Zuhud) dan dalam kesehariannya hanyalah ibadah dan dzikir kepada Allah SWT. Mereka meminimalkan usaha duniawi dengan alasan bahwa dunia hanyalah fana, dan untuk itu mereka biasanya dawam berpuasa. Lebih-lebih puasa Daud. Hal tersebut tidaklah menjadi problem, mengingat aliran yang dipilihnya sesuai dengan pola kebutuhannya sehari-hari. Minim usahanya, minim pula harta dan makanannya (puasa). Dan mereka merasa senang dengan pola kehidupan seperti itu.
Lalu, bagaimana dengan orang yang percaya Jabariyah, tetapi masih enggan meninggalkan kehidupan duniawinya? Ini yang menjadi persoalan, bahwa ketika mereka berpikir segala sesuatu diatur oleh Tuhan, mereka masih cinta akan kehidupan duniawi dan tidak pula mau berusaha. Banyak sekali tokoh agama yang setiap harinya hanya ibadah, sholat dan dzikir kepada Allah SWT., tetapi disamping itu dia harus memenuhi banyak kebutuhan dalam kesehariannya. Termasuk anaknya yang harus sekolah, kebutuhan pangan keluarga, dan kebutuhan lain yang biasanya sangat kompleks sekali. Sehingga tak jarang beberapa tokoh agama dililit hutang sana sini, gali lobang tutup lobang, main riba dan sebagainya. Dalam situasi yang demikian, tentu aliran jabariyah tidaklah cukup. Dibutuhkan pola kombinasi antar keduanya (Maturidiyah) bahwa Takdir Tuhan juga memerlukan usaha dari diri manusia sebagai mahluk yang diberi potensi untuk melancarkan perjalanan hidupnya. Selanjutnya usaha dari manusia itu diserahkan pada ketentuan Tuhan (tawakkal).
Di zaman yang serba modern dan berkembang ini, pola hidup zuhud semakin susut dikarenakan kebutuhan pola hidup kemanusiaan yang kompleks. Hal itu terkait dengan pemikiran baru di masyarakat bahwa untuk menyaingi kaum kapitalisme barat maka islam harus bangkit dalam berbagai bidang kehidupan duniawi. Dan pola zuhud pun mulai ditinggalkan. Sekalipun tidak, banyak pemuka agama yang terjepit dalam pilihannya sendiri; memilih jabariyah sementara keadaan dan zaman membutuhkan qodariyah (usaha manusia). Sehingga tak ayal jika akhirnya terlilit hutang, dan bahkan riba. Wallahu a’lam!
Pola hidup pemuka agama hari ini adalah transisi dalam paradigma keagamaan itu sendiri sejalan dengan desakan zaman yang semakin menantang. Maka dari itu, kesalahan yang pernah ada bukan semata-mata kesalahan dari pelaku itu sendiri, melainkan karena ketertanaman paradigma yang awal, yang sebelumnya disesuaikan dengan keadaan yang tak se-modern hari ini. Sementara keadaan yang berubah hari menuntut lain, termasuk disiplin ilmu pengetahuan. Hal terbaik yang bisa dilakukan adalah introspeksi dan klarifikasi, kebutuhan seperti apa yang dibutuhkan hari ini. Apakah Jabariyah, Qodariyah atau Maturidiyah; Takdir Tuhan semata, usaha manusia, atau usaha manusia yang disertai ketentuan Tuhan?




0 Response to "Takdir Tuhan dan Modernisasi "

Posting Komentar

Tulis Komentar Anda Disini....

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel