Pertemuan setelah 10 Tahun
MASIHKAH kausimpan surat di kertas kecil dari sobekan yang
kutulis saat aku sangat marah padamu? Jangan-jangan setelah kaubaca lalu
kausobek-sobek hingga kecil dan lumat di bawah sepatumu? Benarkah?
Aku terperanjat. Sepuluh tahun sudah dari peristiwa itu. Kau sudah
berumah tangga, sedangkan aku masih suka melajang, gonta-ganti cewek.
“Kamu tahu, aku masih ingat apa yang kutulis waktu itu. Boleh
kaucocokkan, berani bertaruh. Kalau salah aku siap bayar,” kata Rasta
kemudian.
“Bagaimana bisa dicocokkan. Suratmu itu entah kusimpan atau hilang di mana? Aku sudah berkali-kali pindah rumah,” jawabku.
“Setidaknnya kau masih ingat sedikit-sedikit. Mau kubacakan lagi sekarang?”
Aku tak menjawab. Pramusaji menyiapkan hidangan yang kami pesan di meja.
Ini pertemuan kami yang pertama setelah berpisah; kau nikah dan dibawa
ke Surabaya. Sementara aku tak lagi bernafsu untuk menjalin cinta.
Menetap di kota kelahiranku ini.
Hatiku hanya punya satu pintu, dan sudah kaubuka karena itu sudah
menjadi milikmu. Maka kini terkunci lagi. Tak ada yang memiliki anak
kuncinya. Aku pun tak mau menggandakan. Biarlah terkunci selamanya.
Kubiarkan pintu cintaku tertutup rapat, tak ada lubang kecil pun menjadi
sela untuk dimasuki. Bahkan angin tak bisa menyelinap.
Aku frustrasi? O, tidak. Dalam hidupku tak ada kamus putus asa. Bunuh
diri hanya ketakutan melihat kenyataan. Padahal realitas sebuah
keindahan. Itu sebabnya tatkala kau mengabarkan mau bertemu denganku,
aku tak riang juga tak menolak. Ya, sekadar reuni.
Rencana dibuat. Kau mengusulkan pertemuan di Diggers, sebuah kafe di
bilangan Pahoman, karena di situlah kali pertama kunyatakan cintaku dan
engkau mengangguk. Tetapi aku ingin di Moka sebab bagiku lebih
bersejarah; kita janjian untuk menonton film. Sejak membeli karcis
hingga memasuki teater 21 itu kita berpegangan tangan, meski berstatus
teman dan baru kenalan.
“Lucu kan kalau kita jauh-jauhan. Apa kata kawanku dan temanmu kalau mereka lihat,” bisikmu lalu memegang tanganku.
Aku mengangguk. Bahagia. Kugandeng tanganmu memasuki gedung teater.
Seorang lelaki yang sejak tadi mencuri tatap makin menampakkan wajah tak
suka, terutama padaku. Aku tak acuh.
Dan, baru kutahu kemudian darimu bahwa pria itu sememangnya
menginginkanmu. Dia kakak kelasmu di kampus dan sudah lulus. Dari
keluarga mampu. Katamu, dia sering mengunjungimu. Namun karena kau tak
pernah memberi angin, ayahmu akhirnya menemaninya main catur.
Ah, dua tempat sebagai rendezvous; kita pilih mana untuk pertemuan
setelah 10 tahun berpisah? Lama kita memutuskan, tentu dengan
alasan-alasan hingga menjurus perdebatan karena mempertahankan
argumentasi. Persoalan tempat untuk pertemuan kembali setelah 10 tahun
tak saling kabar jadi melebar.
Kau menuduhku biang dari segala kekandasan hubungan kita. Menurutmu, aku
tak berani melamarmu kepada orang tuamu. Kau menudingku lelaki pengecut
yang pernah kaukenal. “Kamu hanya berani merayu lewat surat dan pesan
pendek di handphone!” gerutumu melalui telepon.
“Hei jangan hanya bisa menyalahkan aku ya?” bentakku. “Kenapa waktu itu
kau tak berani kuajak larian? Saat kuajak kita menikah saja di penghulu,
kau bilang akan berisiko; orang tuamu akan membuangmu sebagai anak. Kau
yang pengecut. Padahal aku siap jika pun kedua orang tuamu tak mengakui
hubungan kita. Dan, aku yakin kalau kita sudah punya anak mereka akan
menerima kita. Tapi apa katamu? ‘Aku tahu ayahku, dia keras kepala dan
hatinya bagai batu. Gengsinya bagai bukit kukuh yang tak bisa
dirontokkan.’ Maka kupilih membiarkanmu dinikahi orang lain. Dan, itu
memang juga pilihanmu!”
“Enak saja kamu menuduhku mau dinikahi lelaki yang kemudian jadi
suamiku. Itu terpaksa, karena kau tak berani melamarku, kau pengecut!”
bentakmu.
Aku makin berang. Rasa kelelakianku terusik, saat kautuding aku pengecut. Diskusi soal tempat deadlock. Aku tutup handphone-ku,
engkau berkali-kali menghubungiku. Menjelang subuh kembali kau
mengontakku. Tak tega mendiamkan HP-ku menjerit-jerit, kuterima
teleponmu.
“Ya, ada apa?” kataku singkat.
“Kamu masih marah? Masih emosi? Salat subuh dulu,” balasmu dari seberang. “Aku lagi malas.”
“Oke deh. Maafkan aku ya semalam, membuatmu emosi,” katamu kemudian.
Lalu menutup telepon genggammu. Aku tak merespons. Setelah salat subuh
aku kembali ke ranjang. Tidur dan baru bangun pukul 11.00, itu pun
karena telepon pintarku berdering. Agak malas kulihat di layar
teleponku, Fitri Sayang. Ya, namamu tak pernah kuhapus atau kuganti
dengan nama lain di kartu memoriku. Masih atas nama 10 tahun silam.
“Ya, ada apa?”
“Kayak enggak kreatif,” katamu santai.
“Maksudmu?”
“Subuh tadi waktu menerima teleponku, kau mulai ‘ya, ada?’ Nah, sekarang pun sama. Coba kreatif dikitlah.”
“Misalnya?” pancingku.
“Ya, Sayang, umpamanya. Atau apalah, yang penting lain dari sebelumnya.
Ibarat kata orang bijak, hendaknya dalam satu alenia atau paragraf atau
satu kalimat, jangan mengulang kata yang sama. Begitu.”
“Ooo begituu.... Sori, aku bukan penulis. Aku akuntan. Tapi omongomong
rupanya kau sudah pintar ya. Tahu soal kalimat, paragraf, atau alenia.”
“Ya, aku belajarlah. Aku banyak kenal penulis,” katamu.
“Oke, ada apa nih, Fit? Mmasih kita bicarakan soal semalam, soal tudinganmu padaku sebagai lelaki pengecut?”
“Aku kan sudah minta maaf. Lupakanlah itu,” balasmu. “Bagaimana bisakah
kita bertemu? Aku jadi berlibur dan kuharap kita bisa ketemuan. Terserah
di mana tempatnya, aku percayakan padamu. Aku ngalah tak memilih
Diggers, dan kalau kau ingin di Moka, oke deh,” lanjutmu.
“Baiklah. Tetapi kedua tempat itu sebaiknya kita lupakan. Sama-sama tidak kita pilih.”
“Lantas di mana? Kau punya?”
Aku diam. Berpikir.
“Ada? Di mana? Bagus? Privasi terjaga?”
“Aku tak punya. Apakah kau punya tawaran?”
“Yup, ada dong!”
“Di mana?”
“Kau harus mau. Ini tawaranku, Grand Elty Krakatoa. Kita bisa nikmati pantainya dan bisa santai.”
“O ya, dulu Kalianda Resort kan?” aku menegaskan.
“Ya benar. Oke gak?”
Aku mengangguk.
“Bagaimana, Fred? Kamu setujukah?”
“Maaf, aku tak sadar kalau kita ngobrol di telepon. Tadi aku mengangguk,” jawabku sambil terbahak.
“Dasar!” balasmu ikut terkekeh.
***
PAGI-PAGI kau tiba di Bandara Radin Inten II. Dari Branti kita
menuju Grand Elty Krakatoa dan memesan satu vila menghadap pantai.
Setelah meletakkan barang-barang, kita menuju lobi dan mengobrol. Jelang
pukul 14.00 kita ke tepi pantai. Sepanjang koridor menuju dermaga,
seperti kali pertama kugandeng kau di Moka, ini kali kembali kuulang.
“Hidup ini selalu berulang, tampaknya ada benarnya ya,” bisikmu.
“Tak setiap peristiwa harus berulang. Ada kalanya benar-benar hilang,” balasku.
“Kau suka dengan peristiwa ini?”
“Suka.”
“Kau masih menyukaiku?”
Aku mengangguk.
“Aku yakin, dan benar apa yang kuperkirakan,” katamu, lalu berhenti
beberapa saat karena harus menaiki banana. “Sengaja aku mencuri waktu
libur hanya ingin menemuimu. Sudah lama aku tak serumah dengan Syamsul.
Dia membawa lari barang-barang berhargaku, kabarnya pindah ke kota lain
dengan wanita idaman lain. Benar katamu, ‘Syamsul bukan tipe lelaki yang
bisa diharapkan, bisa melindungimu, menjadikan suami untukku
bergantung, dan teman dalam sukaduka.’ Kenyataanya memang begitu.”
“Sudah berapa lama? Kenapa tidak kauceritakan sejak dulu?”
“Baru dua tahun. Bagaimana aku bisa cerita padamu, nomor teleponmu sudah
dihapus Syamsul. Aku baru dapat nomor kontakmu setelah aku mengontak
Ratih.”
“Oooo.”
“Kenapa?”
Aku menggeleng.
“Nah, kamu kenapa tak juga menikah? Kan banyak wanita yang bisa kaujadikan istri? Kabar dari Ratih, dia juga sudah cerai.”
“Maksudmu ke sini, kau mau jodohkan aku dengan Ratih? Ah, jauh-jauh
sekali kau datang, hanya ingin jadi mak comblang!” bentakku. Aku berang.
Hampir saja kuputar banana yang kami tumpangi secara tiba-tiba, biar
kami terjun ke laut.
“Lo begitu saja marah,” katamu ingin meralat. “Kalau tak mau ya tak
apa-apa, lagian aku juga bukan mak comblang buatmu dan Ratih. Aku hanya
mau tahu kenapa kau belum juga nikah. Nanti ketuaan lo.”
“Pertanyaanmu bukan itu lo? Kalau itu yang kautanya, aku jawab: tak mau
menikah begitu aku pisah darimu,” kataku. Berhenti. “Kuanggap kaulah
yang memegang anak kunci bagi cintaku, dan aku tak akan pernah ingin
menggandakan.”
“O ya, kau masih ingat apa isi suratku di kertas kecil bekas sobekan hingga kau marah?”
Aku menggeleng. “Sudah ah, lupakan. Tak begitu penting. Lagian aku sudah lupa.”
“Penting, setidaknya untuk mengenang,” jawabmu sambil tersenyum. Senyummu itu yang dulu membuatku tergila-gila.
“Kalau kamu bisa mengingat, aku siap memberimu.”
“Kayak taruhan. Aku sudah lupa.”
“Tapi kau masih ingat kan sedikit-sedikit?”
Aku menggeleng.
“Baiklah, sekiranya kubacakan lagi, kau pasti teĆ„ringat. Aku masih hafal apa yang kutulis di suratku itu.”
Aku diam. Kamu membacakan, aku benar-benar sudah lupa.
“Bagaimana? Benar kan, aku masih hafal?”
Aku mengangguk. Ini dustaku yang pertama padamu.
Lalu kau mengajakku ke kamar. Istirahat. Dua ranjang terpisah. Seakan
sebuah jarak yang sangat jauh: Surabaya dan Lampung. Aku terjaga, kaget.
Kau sudah rebah di sebelahku. Suara napasmu sangat dekat, dan terdengar
jelas. Entahlah, waktu berikutnya. (44)
Lampung, Februari-14 April 2016
Sumber: Suara Merdeka
0 Response to "Pertemuan setelah 10 Tahun "
Posting Komentar
Tulis Komentar Anda Disini....