Yogya, Tanah Air Kebudayaan
Yogyakarta
layak disebut salah satu Tanah Air kebudayaan di negeri ini. Stumbuh
dalam kekuatan budaya lokal Jawa Mataram, kota ini pun memasuki dinamika
peradaban baru, hasil dialog dengan nilai-nilai baru/modernisme (Barat)
yang datang bersama kolonialisme. Akhirnya Yogyakarta menyatukan diri
dalam entitas negara modern bernama Republik Indonesia (1945).
Adapun
Jawa Mataram mengacu pada peradaban yang dibangun dinasti kerajaan
Mataram, sejak era Panembahan Senopati, Sultan Agung hingga Pangeran
Mangkubumi (Hamengku Buwono I) yang mendirikan kraton Ngayogyakarta
Hadiningrat (1757); buah dari Perjanjian Giyanti 1755.
Ketika
memilih menjadi bagian dari NKRI, Yogyakarta pun menjadi entitas
sosial-budaya yang terbuka dan merepresentasikan keindonesiaan.
Anak-anak Indonesia yang berasal dari berbagai suku dan daerah pun
memasuki kota ini. Umumnya mereka menjadi subjek pembelajar (pelajar,
mahasiswa). Tidak hanya budaya Jawa, mereka menyerap juga kemajemukan
nilai-nilai lain yang tumbuh dan berkembang di kota ini. Mereka mengolah
ide-ide kebudayaan. Mereka pun berekspresi kesenian (sastra, tari,
teater modern/tradisional, musik, seni rupa, film). Dalam konteks ini,
perbedaan asal-usul suku budaya, menjadi kenyataan historis kultural
yang diakui dan telah diterima sebagai keniscayaan di dalam negara
multietnik.
Ibu yang Mencintai
Siapa
pun boleh mengaku sebagai ‘Wong Jogja’ meskipun asalnya dari suku-suku
bangsa yang berbeda. Itulah kenapa isu-isu berbasis sentimen etnis,
cenderung tidak mendapatkan ruang di Yogyakarta. Salah satu ujian
penting yang telah dilampaui Yogyakarta adalah ketika di negeri ini
terjadi pergolakan politik pada tahun 1998 yang menandai lengsernya
Soeharto dan berbuntut amuk massa bernuansa rasial ‘anti China’. Ketika
kota-kota lain penuh kobaran api, penjarahan dan pemerkosaan, Yogyakarta
kalis (terhindar) dari malapetaka itu. Kota ini tetap adem ayem, rukun
dan damai. Saat itu Yogyakarta membuktikan kualitas nilai-nilai kultural
dan peradabannya yang anti-anarki. Begitu juga ketika rezim Susilo
Bambang Yodhoyono (SBY) ngotot melenyapkan keistimewaan Yogyakarta
(baca: DIY). Reaksi warga Yogyakarta pun sangat elegan dan bermartabat:
menempuh dialog, diplomasi, negosiasi dan jalan konstitusi.
Yogyakarta
sebagai Tanah Air kebudayaan dapat dimaknai sebagai ibu yang mencintai,
mengasuh, merawat dan menumbuhkan anak-anaknya dari berbagai suku
bangsa di Indonesia. Sang ibu memberikan ruang bagi pengembangan diri
baik dalam dunia nilai (etika, norma, adat, tradisi), gagasan
(intelektual), perilaku/ekspresi (estetik dan non-estetik) maupun di
dalam karya kebudayaan baik yang bersifat tangible (benda) maupun
intangible (tak benda). Sang ibu juga mendorong penguatan kemajemukan,
toleransi demi terpenuhinya hak-hak kebudayaan setiap warga dengan
perbedaan budaya. Stentu, semua kemuliaan itu bermuara pada nilai-nilai
kemanusiaan dan manusia sebagai subjek kebudayaan. Yakni, manusia yang
kreatif, inovatif, mandiri dan bahagia. Bukankah cita-cita mendasar
kebudayaan seperti dikatakan Ki Hadjar Dewantara – adalah menyelamatkan
dan membahagiakan umat manusia?
Persoalannya
adalah bagaimana Tanah Air kebudayaan itu terus dihidupi, dijaga,
dibangun, dan dikembangkan? Terhadap tantangan itu kita tidak bisa
menyangkal keberadaan karakter khas yang dimiliki Yogyakarta:
komunalitas (keguyuban, kegotong-royongan) yang menciptakan sinergi
kreatif yang bermakna bagi perkembangan individu-individu yang
mendukungnya. S
Banyak Kepala
Sejarah
pertumbuhan dan perkembangan kebudayaan dan kesenian di Yogyakarta
adalah sejarah komunitas. Individu atau kelompok yang memiliki makna
secara eksistensial dan kultural umumnya lahir dari rahim komunitas.
Anda bisa sebut tokoh-tokoh atau kelompok-kelompok yang kini berjaya di
ranah kesenian dan kebudayaan. Jika mereka tidak ingkar, mereka pasti
mengakui dibesarkan budaya komunal dan komunalitas. Ketika nilai-nilai
budaya komunal itu diingkari, maka tidak sedikit individu maupun
kelompok yang mengalami stagnasi. Bacalah sejarah pertumbuhan mereka.
Nilai-nilai
komunal dapat dipahami sebagai spirit kebersamaan yang bertanggung
jawab, saling menopang dan diciptakan bersama demi melahirkan ide,
kreativitas atau inovasi. Teorinya, kompleksitas persoalan kehidupan
tidak bisa hanya dihadapi dengan satu kepala atau satu pikiran maka
dibutuhkan banyak kepala yang saling gesek, gosok untuk menciptakan
ide-ide dan kreativitas segar.
Tentu,
interaksi kreatif itu tak bisa hanya berlangsung secara teknis, tapi
membutuhkan kehangatan hati dan jiwa untuk saling berbagi serta keluasan
pikiran untuk mengkonfrontasikan gagasan. Syarat lainnya adalah tidak
ada kooptasi figur sentral terhadap anggota komunitasnya.
Saya
teringat ucapan Umar Kayam bahwa seniman, akademisi, wartawan atau
siapa pun yang berinteraksi dalam komunitas ‘Kayaman’, tidak pernah dia
anggap sebagai anak buah, tapi kawan yang harus dihormati eksistensinya.
Karena itu, Umar Kayam selalu menolak kooptasi.[]
Indra Tranggono, cerpenis dan esais.
Sumber: Harian Kedaulatan Rakyat
Sumber gambar: http://www.sewamobiljogja.info/sejarah-tugu-yogyakarta
0 Response to "Yogya, Tanah Air Kebudayaan"
Posting Komentar
Tulis Komentar Anda Disini....