Fenomena Afi Nihaya Faradisa: Gambaran Manusia Indonesia
Sebelum saya menfokuskan tulisan ini, pertama saya ingin membahas
sedikit tentang paradigma orang-orang Indonesia yang selama ini dijadikan pokok
nalar dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat, bangsa dan negara. Paradigma
yang dimaksud adalah pernyataan yang sudah membumi di benak kita bahwa negara
kita sedang dalam perkembangan (negara berkembang). Dari pernyataan yang
sepertinya sakral dan layak dipercaya itu masyarakat berpikir, berpendapat dan
berperilaku yang menggambarkan rasa keterbelakangan dibandingkan negara-negara
lain. Sehingga masyarakat begitu sepakat untuk berkiblat, berbudak dan menjadi
konsumen pasif negara luar, baik berupa produk material maupun pemikiran. Padahal,
kita adalah negara paling kaya sedunia: baik dari segi kebudayaan maupun
material. Pemikiran? Jangan salah, kita memiliki orang-orang hebat sekelas
pembuat kapal terbang dan industri lokal: B.J Habibie, Prof. Thamrin Paradede
dan lain-lain.
Pertanyaan saya, dengan cara apa lagi kita mampu maju dan bertahan,
bila mengakui dan membanggakan produksi maupun kebudayaan sendiri saja tidak
bisa? Alhasil, pola pikir masyarakat kita dan generasinya yang salah melahirkan
ketersimpangan arah dan pedoman hidup: beragama tak berbudaya, berpikir tak
beragama, berbudaya tak beragama. Dan bahkan ada yang tidak mau bernegara
Indonesia dalam ranah NKRI.
Baik, saya tidak akan membahas panjang lebar tentang masalah di
atas. Saya hanya akan mengutip sedikit perkataan dari Bapak Muhammad Qowim,
yang merupakan dosen UIN basis kebudayaan masyarakat, yang beliau sampaikan
pada sebuah acara seminar kebangsaan di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Bunyi
dari perkataan yang dimaksud adalah sebagai berikut: “Jangan katakan kepada
anak-anak kita bahwa negara kita DIJAJAH oleh Belanda selama 350 tahun. Tapi
katakan kepada anak-anak kita bahwa kita mampu BERJUANG DAN BERTAHAN dari
serangan penjajah selama 350 tahun. Katakan bahwa kita negara kuat dan layak
untuk merdeka.”
Perkataan di atas layak kita teliti, pahami dan renungkan bersama.
Bahwa kata-kata mampu membentuk paradigma seseorang: antara paradigma positif
dan negatif. Jika kita yakin dengan kata “dijajah”, yang ada dalam psikologis kita
adalah perasaan lemah dan tertindas. Padahal tidak, kita adalah negara yang
kuat dan mampu bertahan.
Kemudian, apa hubungannya dengan fenomena Afi Nihaya Faradisa?
Akibat dari paradigma masyarakat yang selalu merasa terbelakang, masyarakat
kita terlalu sentimental dan merasa asing dengan kehebatan-kehebatan yang
sebenarnya itu hanyalah bagian kecil: hal sepele. Saya di sini tidak ingin
menyalahkan siapapun, baik masyarakat maupun Afi Nihaya Faradisa. Saya hanya
ingin menggambarkan keadaan pemikiran masyarakat (media, politikus dll)
kaitannya dengan fenomena Afi.
Afi sudah melakukan hal yang benar dan lebih baik. Terkait dengan
caranya menulis yang plagiatif, bagi saya masih bisa dimaklumi mengingat usia
dan pengalamannya yang masih muda. Tetapi, di luar Afi, sekelas presiden
Jokowi, Kick Andy (beruntung bukan Mata Najwa) dan bahkan UGM, apalagi media, kok
ya masih merasa asing dan berlebihan menanggapi apa yang dilakukan oleh
sejenis Afi? Seakan-akan itu adalah perbuatan seorang dewa? Benarkah itu
merupakan gambaran keadaan negara kita yang masih naif menviralkan hal-hal
sepele?
Yang paling saya takjub disini adalah apa yang dilakukan media.
Media selalu berbuat hal yang luar biasa: menviralkan hal yang tidak penting. Tetapi
apalah semua itu bila tidak dilatarbelakangi oleh keadaan dan respon
masyarakat, terutama di media sosial milik Afi. Maka dari itu, dari rentetan
fenomena sedari Ahok sampai Afi baru-baru ini, semestinya dijadikan refleksi
bagi masa depan kita. Bahwa masih ada hal-hal yang lebih penting untuk dibahas,
dan bahwa pengundangan Afi oleh Kick Andy dan UGM hanya membuang uang negara.
Yang pada akhirnya mereka semestinya malu: karena Afi menggunakan pola tulisan
plagiarisme, yang secara kurang ajar dia tidak mengakui plagiarisme yang
dilakukannya.
Terakhir, marilah kita berpikir maju dan kritis terhadap berbagai
isu dalam dan luar negeri. Untuk mempertegas opini saya yang singkat ini, saya ingin
masyarakat Indonesia seluruhnya membaca opini yang ditulis oleh Muhammad Rois
Rinaldi di alamat: https://indonesiana.tempo.co/read/112136/2017/06/04/rois.rinaldi.muhammad/ini-tentang-plagiarisme-bukan-kebencian-kepada-afi
Sekian tulisan singkat ini, semoga Tuhan memberi petunjuk bagi kita
semua. Semangat terus buat dek Afi Nihaya Fadisa. Semoga generasi dan
masyarakat Indonesia mampu berbudaya membaca dan menulis sebagaimana yang dek
Afi lakukan, tanpa harus membudayakan plagiarisme. Salam perjuangan!
Ali Munir S.,
Mahasiswa tidak suka basa-basi di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.
sumber gambar: http://unduh.stream/nonton?video=YlLDRx_perI
0 Response to "Fenomena Afi Nihaya Faradisa: Gambaran Manusia Indonesia "
Posting Komentar
Tulis Komentar Anda Disini....