Nenek: Di Hening Suatu Malam
“Benarkah itu, Nek?”
Malam menghening. Rembulan sudah seperti padam terhalang pintu dan
atap kamar nenek. Sementara dalam anganku sengaja kutelurkan seribu pertanyaan
yang menunggu untuk menetas di bibir nenek, dua daging yang saling beradu
dengan bentuknya yang mulai menipis dan menghitam.
“Sebenarnya, Nenek dulu juga sama.”
“Jadi, sudah berapa kali, Nek?”
Nenek membenarkan letak kepalanya di atas bantal, sedikit menggesek
sepertinya sedang ingin lebih rileks dan nyaman.
“3 kali.” Suaranya lirih.
“Sama siapa saja, Nek?”
“Pertama, sama Ki Panggoda. Tapi karena tidak cocok, dia pergi
setelah kita bersama lebih dari satu tahu.”
“Kok bisa, Nek? Masalahnya apa?”
“Yah, namanya juga tidak akur. Ada saja masalah.”
Nenek menghela napasnya. Tak kulihat raut wajah dan kedipan matanya
karena lampu sudah dimatikan sedari tadi untuk kami berangkat tidur. Hanya
suara yang tulus dan lirih, serta hembusan nafasnya yang kurasakan.
“Bukannya kalo mau jadi itu sudah sama-sama sepakat, mengerti dan
berjanji, Nek?”
“Iya. Tapi di belakang, ada hal yang tidak kami sangka-sangka.”
“Wah. Eman dong, Nek. Apa waktu itu Nenek tidak takut, kalo Nenek
tidak dapat lagi penggantinya, kan Nenek sudah tidak pertama lagi?”
“Setiap perempuan akan sakit hati bila ditinggal, sekalipun itu
atas dasar alasan-alasan yang sudah diketahui bersama. Tapi mau gimana lagi, Dia
tetap ngotot juga kok. Tidak bisa dipaksa.”
Nenek masih tenang. Suaranya masih pelan dan tulus. Aku pun semakin
nyaman menitipkan telur pertanyaannku di kedua bibirnya yang haru.
“Lalu, gimana, Nek?”
“Hm. Kakekmu Ki Muantar datang. Dari dialah aku mendapatkan ibumu,
dan kedua bibimu.”
“Paman Mahnawi?”
“Dia kan dari Ki Mo’i. Ki Mo’I dating setelah Kakekmu meninggal.”
“Wah, Nenek beruntung, ya, Nek. Terus Ki Mo’I itu gimana? Apa
meninggal juga?”
“Pisah.”
“Lagi? Kok gitu sih. Kenapa jodoh yang katanya sudah ditentukan
Tuhan itu tidak jelas, ganti-ganti, dan tak tentu dating perginya?”
“Ya, Nenek tidak tahu. Hahaha…. Kamu itu ada-ada saja pertanyaannya
dari tadi.”
Nenek sedikit tertawa, seperti mengelitikkan kekonyolan masa
lalunya.
“Sampean hebat, Nek.”
Nenek tertawa lagi. Sementara aku memutuskan untuk merenung, dan
kemudian nenek tampak akan memejamkan mata. Malam masih berupa gelap waktu itu,
tidak jelas, dan masih penuh dengan pertanyaan-pertanyaan. Lalu, sebelum tidur,
aku menyempatkan diri membuat kesimpulan seperti yang biasa kulakukan sebelum
menutup mata, ternyata banyak sekali peristiwa yang menolak adanya satu hati
dan perasaan. Bagiku, cerita nenek memberikan hikmah, bahwa cinta adalah
penerimaan atas apa yang datang dan atas yang telah pergi. Karena jalan hidup
kita pada hakikatnya ada di tangan dan untuk Tuhan.
Juruan Laok, 2017
Ali Munir S.
0 Response to "Nenek: Di Hening Suatu Malam "
Posting Komentar
Tulis Komentar Anda Disini....