RAINA: Sebuah Cerpen Nur Faizah Hasanah
RAINA: Sebuah Cerpen Nur Faizah Hasanah |
Raina berlari ke kamarnya saat melihat tamu ibunya yang datang. Air matanya tumpah. Ia menangis sejadi-jadinya. Hati dan pikirannya kini sedang kacau berkabut. Raina benci laki-laki paruh baya itu. Baginya, tidak ada seorang pun yang boleh menggantikan posisi Ayahnya. Ayah Raina tetap satu. Selamanya takkan pernah terganti.
“Ibu mau menikah lagi, Raina,” ucap ibunya saat sedang menikmati makan siang bersama.
Raina belum sepenuhnya menelan nasi ke dalam tenggorokannya. Ia tersedak. Raina kaget. Ibunya buru-buru mengambil segelas air putih dan disodorkan kepada Raina. Ia langsung mengambil air itu, kemudian diteguknya sampai habis. Raina menatap dalam mata ibunya. Berharap di sana, ia menemukan ketidakbenaran atas ucapan ibunya barusan. Ia lalu menghempaskan napasnya dalam-dalam. Wajahnya menunduk.
“Raina tidak setuju, Bu,” ucapnya masih menunduk.
“Setuju tidak setuju, Ibu akan tetap menikah dengannya,” ucap ibunya dingin. Kemudian berlalu dari hadapan Raina .
Dengan kasar lelaki itu memegang tangan Raina. “Kalau sampai kamu menggagalkan acara pernikahanku dengan ibumu. Awas saja kaum,” tunjuknya pada Raina dengan nada tinggi. Raina melepaskan tangannya dari genggaman lelaki itu.
“Sudahlah Raina, ibumu itu tidak akan pernah mempercayai ucapanmu tentangku. Dia lebih mempercayaiku,” lanjutnya, lalu pergi.
“Tiiittitt! Tiittiitt!”
Suara klakson mobil menyadarkan lamunan Raina. Hampir saja dirinya dihantam mobil.
“Eh, Neng, kalo jalan jangan ngelamun dong!” teriak salah seorang dari mobil pick up yang hampir saja mau menabrak dirinya. Raina tak menggubris teriakan itu. Ia tetap berjalan menuju makam ayahnya. Di sana, Raina menangis tanpa henti. Raina mencurahkan segala isi hatinya. Raina ingin ayahnya kembali. Raina ingin semuanya kembali seperti dulu lagi.
“Raina, Ibu dan Ayahmu besok akan pergi ke Bali selama seminggu untuk berbulan madu,” ucap ibunya hati-hati.
“Ayah, ayah siapa maksud Ibu?” tanya Raina sambil mengaduk-ngaduk nasinya. Ibunya seketika diam. Ia tahu kalau hati anak ini keras dan tidak akan pernah bisa menerima suaminya sebagai ayah untuk putri satu-satunya itu.
Berhari-hari, hingga berbulan-bulan sikap ibunya mulai berubah pada dirinya. Ibunya selalu menghabiskan waktu bersama suaminya dan tidak pernah lagi memerdulikan Raina. Raina hanya menangis diam-diam. Ia benci hidupnya yang sekarang. Setiap hari Raina selalu pergi ke makam ayahnya. Menceritakan apa saja di depan pusara ayahnya yang telah kering. Itu adalah salah satu cara Raina agar hatinya kembali tenang.
“Bu.” Raina menghampiri ibunya yang sedang bersantai di ruang tamu sambil membaca koran.
“Hmm...!” sahut ibunya masih asyik membaca koran. Hidung Raina mulai mengeluarkan darah.
“Raina pusing, Bu,” ucapnya dengan suara yang semakin samar. Ibunya menyuruh Raina pergi dari hadapannya tanpa sedikitpun memandang wajah Raina. Raina kemudian pergi ke kamarnya membersihkan darah yang terus keluar dari hidungnya. Kepalanya benar-benar sangat sakit. Raina terlelap bersama sebuah bingkai foto dirinya yang dipeluk ayah dan ibunya.
Esoknya, Raina memeriksakan dirinya ke dokter. Sebuah kabar buruk mulai menimpa dirinya.
“Kamu terkena kanker otak stadium akhir, dan harus dilakukan tindakan lebih lanjut lagi,” kata dokter saat hasil tes lab Raina keluar. Raina terkejut saat mendengar perkataan dokter.
“Kamu harus melakukan Kemoterapi Raina,” lanjut dokter lagi.
“Apa saya bisa sembuh, Dok?”
“Kemungkinan untuk sembuh sangat tipis sekali. Karena kankernya sudah menyebar ke mana-mana. Tapi, nanti saya akan berikan obat pereda sakitmu untuk sementara.”
Raina hanya mengangguk. Setelah selesai berkonsultasi dengan dokter. Raina pun akhirnya pulang.
Setiap hari Raina harus minum obat pereda sakit sementara. Ia tidak mau untuk dikemoterapi. Raina juga merahasiakan hal sebesar ini kepada ibunya. Raina tahu hidupnya tidak akan lama lagi. Maka, ia berniat untuk berjalan-jalan sore ini ketaman. Menikmati udara yang sejuk sebelum ia benar-benar akan pergi menyusul ayahnya.
Seketika, tanpa sengaja mata Raina tertuju pada lelaki yang tak asing lagi baginya sedang bermesraan dengan seorang perempuan tak dikenalnya. Ya, lekaki itu adalah suami ibunya. Amarah Raina mulai membara. Matanya panas melihat pemandangan itu. Tega-teganya lelaki itu berkhianat pada ibunya. Raina tidak menghampiri lelaki itu, tapi ia memfoto dan mem-video-nya. Ia berniat akan memberitahu ibunya tentang kelakuan busuk suaminya itu ketika tidak bersama Ibunya.
Selama ini Raina memang punya firasat buruk pada lelaki itu. Raina yakin kalau lelaki itu menikahi ibunya hanya ingin harta ibunya saja. Wajar saja ibunya itu kaya raya. Bukan karena cinta semata. Dan ibunya telah termakan rayuan manisnya itu. Bukan sekali dua kali Raina memberitahukan ibunya kalau lelaki itu tidak baik untuknya. Tapi ibunya sama sekali tak pernah menggubris ucapannya tentang lelaki itu.
Sesampainya di rumah, Raina langsung menemui ibunya. Ia memeluknya dengan sangat erat dan berbisik ditelinga ibunya.
“Raina rindu Ibu yang dulu.”
Sebelum akhirnya jatuh tersungkur ke lantai. Ibunya langsung berteriak minta tolong. Beberapa tetangga pun datang dan langsung membawa Raina ke rumah sakit.
“Maaf, Bu. Ibu tidak diperbolehkan untuk masuk,” ucap salah satu seorang perawat. Ibu Raina sangat khawatir.
”Apa yang sebenarnya sedang terjadi pada anakku?” batinnya sesak. Ibu Raina tak henti-hentinya menangis. Ia baru sadar semenjak dirinya mengenal lelaki yang kini telah menjadi suaminya itu, ia tidak pernah lagi peduli pada Raina.
Ia benar-benar menyesali perbuatannya itu. Setengah jam berlalu, seorang dokter keluar dari ruangan Raina.
“Bagaimana kondisi anak saya, Dok?” tanya ibunya khawatir.
“Kondisinya sangat parah, Bu. Kita harus banyak berdoa untuk kesembuhan Raina, Bu.”
“Memangnya Raina sakit apa, Dok?”
“Lho, Ibu belum tahu. Raina itu sakit kanker otak. Saya sudah menyuruhnya untuk kemoterapi, tapi Raina tidak mau untuk dikemo, Bu.”
“Apa, Dok. Kanker?!”
“Iya, Bu.”
Ibunya histeris. Ia langsung masuk ke ruangan Raina. Tangisnya semakin pecah saat melihat Raina terkapar tak berdaya di tempat tidur.
“Maafkan ibu, Nak,” ucapnya mengecup kening putri semata wayangnya itu. Perlahan mata Raina terbuka. Ia memegang erat tangan ibunya.
“Bu,” ucap Raina sangat lirih. Hampir tidak terdengar. Ibunya tersenyum. Ia langsung mengecup tangan Raina berkali-kali. Raina tersenyum. Tiba-tiba ayah sambungnya datang. Raina langsung memalingkan muka.
“Ayah tidak tahu kalau kamu terkena kanker otak Raina,” ucap ayah sambungnya itu. Raina sama sekali tak menggubrisnya.
Semakin hari kondisi Raina semakin memburuk. Alat pendeteksi jantungnya tiba-tiba berhenti. Ibunya yang berada di sampingnya mulai berteriak memanggil dokter.
“Ibu, tolong keluar sebentar ya!”
“Tapi, selamatkan anak saya ya, Dok!” Ibunya terus berdoa meminta kesembuhan untuk putrinya. Hampir setengah jam dokter keluar dari ruangan Raina.
“Alhamdulillah, Bu. Anak ibu jantungnya kembali berdetak lagi. Ini sungguh keajaiban yang luar biasa dari Allah,” ucap Dokter Anwar tersenyum.
Ibu Raina langsung bersyujud syukur. Ia sangat berterima kasih kepada Allah masih memberikan kesempatan untuk putrinya tetap hidup.
Setelah menjalani beberapa perawatan Raina dinyatakan sembuh dari kanker otaknya. “Saya benar-benar sangat bangga pada Raina, Bu. Dia Gadis yang kuat,” ucap Dokter Anwar tersenyum.
“Terima kasih banyak, Dok,” ucap Ibu Raina menjabat tangan Dokter Anwar.
Sesampainya di rumah, Raina langsung menujukkan isi foto dan video ayah sambungnya itu sedang bermesraan dengan wanita lain kepada ibunya. Sontak ibunya, kaget. Tak menyangka bahwa suaminya ternyata telah tega menghianatinya. Tiba-tiba suaminya datang.
“Ayah senang akhirnya kamu sembuh, Nak,” ucapnya sok manis pada Raina.
“Ini apa, Mas?“ tanya Ibu Raina sambil menunjukkan foto dan video itu.
“Aku bisa jelasin itu, Sayang.”
“Enggak ada yang perlu dijelasin lagi. Sekarang Aku minta kamu talak aku. Kamu keluar dari rumah ini!”
“Hahah, baiklah. Aku talak kamu sekarang juga, dan kamu bukan istriku lagi. Tapi, Kamu enggak bisa mengusir aku begitu saja. Karena aku belum sepenuhnya milikin harta kamu.”
Seringai tajam dan suara gelak tawa ayah Raina semakin menjadi-jadi. Ibunya didorong oleh ayah sambungnya itu hingga kepalanya terbentur keras ke lantai. Raina langsung histeris dan berteriak minta tolong. Ayah sambung Raina kemudian pergi setelah banyak warga yang datang.
Raina begitu cemas. Takut terjadi apa-apa pada ibunya. Dirinya tak henti-hentinya berdoa pada Allah. Dzat yang Mahakuasa atas segala sesuatu.
“Dok, bagaimana keadaan ibu saya?” tanya Raina khawatir saat Dokter yang pernah menanganinya keluar dari ruangan ibunya.
“Ibumu koma Raina. Akibat benturan keras di kepalanya,” sahut dokter Anwar kemudian berlalu.
Raina langsung memeluk ibunya. Kini, giliran ia yang akan merawat ibunya. Ayah tirinya, juga sudah ditangkap oleh polisi di kediamannya.
Hampir lima bulan Ibu Raina belum juga sadar dari komanya. Raina tetap sabar merawat ibunya. Hingga suatu waktu, keajaiban menghampiri ibunya. Ibunya sadar dari komanya. Raina sangat bahagia dapat melihat kembali senyum di wajah ibunya. Selama Raina masih bisa melihat ibunya tersenyum, hidupnya masih baik-baik saja.
Setelah ibunya sembuh. Raina mengajak ibunya jalan-jalan ke taman. Tiba-tiba kepala Raina pusing. Setetes darah mengalir dari hidungnya. Ia pun pingsan.
“Cobaan apalagi ini ya Rabb?” batin Ibu Raina. Ibu Raina hampir tidak percaya akan hasil diagnosa dokter kalau sel kanker otak anaknya tumbuh lagi. Dan kini kondisinya sangat parah.
“Lakukan yang terbaik untuk anak saya, Dok,” ucap ibunya dengan suara parau.
Dua bulan Raina menjalani perawatan. Kondisinya semakin memburuk hingga dokter menyatakan kalau Raina tidak dapat tertolong. Ibu Raina sangat terpukul. Ia tak menyangka kalau anaknya akan pergi meninggalkan dirinya untuk selama-lamanya. Permintaan terakhir Raina sebelum meninggal. Raina ingin jasadnya dikuburkan tepat di samping ayahnya.
“Takdir Allah memang tidak bisa ditebak. Maut datang tanpa diminta. Semoga tenang di sana Raina. Ibu akan selalu berkunjung ke sini,” ucap ibunya mengusap batu nisan putrinya itu.[]
NUR FAIZAH HASANAH, Lahir di Sumenep, 24 Maret 2003. Sekarang dia seorang pelajar di SMA Nurul Jadid Batang-Batang Daya. Dia anak kedua dari tiga saudara. Memiliki hobi membaca, menulis, dan mengkhayal.
“Ibu mau menikah lagi, Raina,” ucap ibunya saat sedang menikmati makan siang bersama.
Raina belum sepenuhnya menelan nasi ke dalam tenggorokannya. Ia tersedak. Raina kaget. Ibunya buru-buru mengambil segelas air putih dan disodorkan kepada Raina. Ia langsung mengambil air itu, kemudian diteguknya sampai habis. Raina menatap dalam mata ibunya. Berharap di sana, ia menemukan ketidakbenaran atas ucapan ibunya barusan. Ia lalu menghempaskan napasnya dalam-dalam. Wajahnya menunduk.
“Raina tidak setuju, Bu,” ucapnya masih menunduk.
“Setuju tidak setuju, Ibu akan tetap menikah dengannya,” ucap ibunya dingin. Kemudian berlalu dari hadapan Raina .
Dengan kasar lelaki itu memegang tangan Raina. “Kalau sampai kamu menggagalkan acara pernikahanku dengan ibumu. Awas saja kaum,” tunjuknya pada Raina dengan nada tinggi. Raina melepaskan tangannya dari genggaman lelaki itu.
“Sudahlah Raina, ibumu itu tidak akan pernah mempercayai ucapanmu tentangku. Dia lebih mempercayaiku,” lanjutnya, lalu pergi.
***
Hari ini semuanya benar-benar terjadi. Hari yang paling Raina benci seumur hidupnya. Kini, Raina benar-benar menyaksikan ibunya dan lelaki itu duduk di kursi pelaminan. Tatapannya penuh dengan kebencian pada lelaki itu. Raina meninggalkan tempat itu. Ia berjalan dengan tatapan kosong hingga sampai di tengah jalan raya.“Tiiittitt! Tiittiitt!”
Suara klakson mobil menyadarkan lamunan Raina. Hampir saja dirinya dihantam mobil.
“Eh, Neng, kalo jalan jangan ngelamun dong!” teriak salah seorang dari mobil pick up yang hampir saja mau menabrak dirinya. Raina tak menggubris teriakan itu. Ia tetap berjalan menuju makam ayahnya. Di sana, Raina menangis tanpa henti. Raina mencurahkan segala isi hatinya. Raina ingin ayahnya kembali. Raina ingin semuanya kembali seperti dulu lagi.
***
Suasana di meja makan itu tampak dingin. Hanya suara sendok dan piring saja yang beradu. Semua diam. Tak ada yang mau membuka pembicaraan. Raina sangat jijik makan bersama dengan lelaki itu. Lelaki yang takkan pernah bisa menggantikan posisi ayahnya sampai kapanpun. Setelah hampir sepuluh menit, ibunya mulai mengawali pembicaraan.“Raina, Ibu dan Ayahmu besok akan pergi ke Bali selama seminggu untuk berbulan madu,” ucap ibunya hati-hati.
“Ayah, ayah siapa maksud Ibu?” tanya Raina sambil mengaduk-ngaduk nasinya. Ibunya seketika diam. Ia tahu kalau hati anak ini keras dan tidak akan pernah bisa menerima suaminya sebagai ayah untuk putri satu-satunya itu.
Berhari-hari, hingga berbulan-bulan sikap ibunya mulai berubah pada dirinya. Ibunya selalu menghabiskan waktu bersama suaminya dan tidak pernah lagi memerdulikan Raina. Raina hanya menangis diam-diam. Ia benci hidupnya yang sekarang. Setiap hari Raina selalu pergi ke makam ayahnya. Menceritakan apa saja di depan pusara ayahnya yang telah kering. Itu adalah salah satu cara Raina agar hatinya kembali tenang.
“Bu.” Raina menghampiri ibunya yang sedang bersantai di ruang tamu sambil membaca koran.
“Hmm...!” sahut ibunya masih asyik membaca koran. Hidung Raina mulai mengeluarkan darah.
“Raina pusing, Bu,” ucapnya dengan suara yang semakin samar. Ibunya menyuruh Raina pergi dari hadapannya tanpa sedikitpun memandang wajah Raina. Raina kemudian pergi ke kamarnya membersihkan darah yang terus keluar dari hidungnya. Kepalanya benar-benar sangat sakit. Raina terlelap bersama sebuah bingkai foto dirinya yang dipeluk ayah dan ibunya.
Esoknya, Raina memeriksakan dirinya ke dokter. Sebuah kabar buruk mulai menimpa dirinya.
“Kamu terkena kanker otak stadium akhir, dan harus dilakukan tindakan lebih lanjut lagi,” kata dokter saat hasil tes lab Raina keluar. Raina terkejut saat mendengar perkataan dokter.
“Kamu harus melakukan Kemoterapi Raina,” lanjut dokter lagi.
“Apa saya bisa sembuh, Dok?”
“Kemungkinan untuk sembuh sangat tipis sekali. Karena kankernya sudah menyebar ke mana-mana. Tapi, nanti saya akan berikan obat pereda sakitmu untuk sementara.”
Raina hanya mengangguk. Setelah selesai berkonsultasi dengan dokter. Raina pun akhirnya pulang.
Setiap hari Raina harus minum obat pereda sakit sementara. Ia tidak mau untuk dikemoterapi. Raina juga merahasiakan hal sebesar ini kepada ibunya. Raina tahu hidupnya tidak akan lama lagi. Maka, ia berniat untuk berjalan-jalan sore ini ketaman. Menikmati udara yang sejuk sebelum ia benar-benar akan pergi menyusul ayahnya.
Seketika, tanpa sengaja mata Raina tertuju pada lelaki yang tak asing lagi baginya sedang bermesraan dengan seorang perempuan tak dikenalnya. Ya, lekaki itu adalah suami ibunya. Amarah Raina mulai membara. Matanya panas melihat pemandangan itu. Tega-teganya lelaki itu berkhianat pada ibunya. Raina tidak menghampiri lelaki itu, tapi ia memfoto dan mem-video-nya. Ia berniat akan memberitahu ibunya tentang kelakuan busuk suaminya itu ketika tidak bersama Ibunya.
Selama ini Raina memang punya firasat buruk pada lelaki itu. Raina yakin kalau lelaki itu menikahi ibunya hanya ingin harta ibunya saja. Wajar saja ibunya itu kaya raya. Bukan karena cinta semata. Dan ibunya telah termakan rayuan manisnya itu. Bukan sekali dua kali Raina memberitahukan ibunya kalau lelaki itu tidak baik untuknya. Tapi ibunya sama sekali tak pernah menggubris ucapannya tentang lelaki itu.
Sesampainya di rumah, Raina langsung menemui ibunya. Ia memeluknya dengan sangat erat dan berbisik ditelinga ibunya.
“Raina rindu Ibu yang dulu.”
Sebelum akhirnya jatuh tersungkur ke lantai. Ibunya langsung berteriak minta tolong. Beberapa tetangga pun datang dan langsung membawa Raina ke rumah sakit.
“Maaf, Bu. Ibu tidak diperbolehkan untuk masuk,” ucap salah satu seorang perawat. Ibu Raina sangat khawatir.
”Apa yang sebenarnya sedang terjadi pada anakku?” batinnya sesak. Ibu Raina tak henti-hentinya menangis. Ia baru sadar semenjak dirinya mengenal lelaki yang kini telah menjadi suaminya itu, ia tidak pernah lagi peduli pada Raina.
Ia benar-benar menyesali perbuatannya itu. Setengah jam berlalu, seorang dokter keluar dari ruangan Raina.
“Bagaimana kondisi anak saya, Dok?” tanya ibunya khawatir.
“Kondisinya sangat parah, Bu. Kita harus banyak berdoa untuk kesembuhan Raina, Bu.”
“Memangnya Raina sakit apa, Dok?”
“Lho, Ibu belum tahu. Raina itu sakit kanker otak. Saya sudah menyuruhnya untuk kemoterapi, tapi Raina tidak mau untuk dikemo, Bu.”
“Apa, Dok. Kanker?!”
“Iya, Bu.”
Ibunya histeris. Ia langsung masuk ke ruangan Raina. Tangisnya semakin pecah saat melihat Raina terkapar tak berdaya di tempat tidur.
“Maafkan ibu, Nak,” ucapnya mengecup kening putri semata wayangnya itu. Perlahan mata Raina terbuka. Ia memegang erat tangan ibunya.
“Bu,” ucap Raina sangat lirih. Hampir tidak terdengar. Ibunya tersenyum. Ia langsung mengecup tangan Raina berkali-kali. Raina tersenyum. Tiba-tiba ayah sambungnya datang. Raina langsung memalingkan muka.
“Ayah tidak tahu kalau kamu terkena kanker otak Raina,” ucap ayah sambungnya itu. Raina sama sekali tak menggubrisnya.
Semakin hari kondisi Raina semakin memburuk. Alat pendeteksi jantungnya tiba-tiba berhenti. Ibunya yang berada di sampingnya mulai berteriak memanggil dokter.
“Ibu, tolong keluar sebentar ya!”
“Tapi, selamatkan anak saya ya, Dok!” Ibunya terus berdoa meminta kesembuhan untuk putrinya. Hampir setengah jam dokter keluar dari ruangan Raina.
“Alhamdulillah, Bu. Anak ibu jantungnya kembali berdetak lagi. Ini sungguh keajaiban yang luar biasa dari Allah,” ucap Dokter Anwar tersenyum.
Ibu Raina langsung bersyujud syukur. Ia sangat berterima kasih kepada Allah masih memberikan kesempatan untuk putrinya tetap hidup.
Setelah menjalani beberapa perawatan Raina dinyatakan sembuh dari kanker otaknya. “Saya benar-benar sangat bangga pada Raina, Bu. Dia Gadis yang kuat,” ucap Dokter Anwar tersenyum.
“Terima kasih banyak, Dok,” ucap Ibu Raina menjabat tangan Dokter Anwar.
Sesampainya di rumah, Raina langsung menujukkan isi foto dan video ayah sambungnya itu sedang bermesraan dengan wanita lain kepada ibunya. Sontak ibunya, kaget. Tak menyangka bahwa suaminya ternyata telah tega menghianatinya. Tiba-tiba suaminya datang.
“Ayah senang akhirnya kamu sembuh, Nak,” ucapnya sok manis pada Raina.
“Ini apa, Mas?“ tanya Ibu Raina sambil menunjukkan foto dan video itu.
“Aku bisa jelasin itu, Sayang.”
“Enggak ada yang perlu dijelasin lagi. Sekarang Aku minta kamu talak aku. Kamu keluar dari rumah ini!”
“Hahah, baiklah. Aku talak kamu sekarang juga, dan kamu bukan istriku lagi. Tapi, Kamu enggak bisa mengusir aku begitu saja. Karena aku belum sepenuhnya milikin harta kamu.”
Seringai tajam dan suara gelak tawa ayah Raina semakin menjadi-jadi. Ibunya didorong oleh ayah sambungnya itu hingga kepalanya terbentur keras ke lantai. Raina langsung histeris dan berteriak minta tolong. Ayah sambung Raina kemudian pergi setelah banyak warga yang datang.
Raina begitu cemas. Takut terjadi apa-apa pada ibunya. Dirinya tak henti-hentinya berdoa pada Allah. Dzat yang Mahakuasa atas segala sesuatu.
“Dok, bagaimana keadaan ibu saya?” tanya Raina khawatir saat Dokter yang pernah menanganinya keluar dari ruangan ibunya.
“Ibumu koma Raina. Akibat benturan keras di kepalanya,” sahut dokter Anwar kemudian berlalu.
Raina langsung memeluk ibunya. Kini, giliran ia yang akan merawat ibunya. Ayah tirinya, juga sudah ditangkap oleh polisi di kediamannya.
Hampir lima bulan Ibu Raina belum juga sadar dari komanya. Raina tetap sabar merawat ibunya. Hingga suatu waktu, keajaiban menghampiri ibunya. Ibunya sadar dari komanya. Raina sangat bahagia dapat melihat kembali senyum di wajah ibunya. Selama Raina masih bisa melihat ibunya tersenyum, hidupnya masih baik-baik saja.
Setelah ibunya sembuh. Raina mengajak ibunya jalan-jalan ke taman. Tiba-tiba kepala Raina pusing. Setetes darah mengalir dari hidungnya. Ia pun pingsan.
“Cobaan apalagi ini ya Rabb?” batin Ibu Raina. Ibu Raina hampir tidak percaya akan hasil diagnosa dokter kalau sel kanker otak anaknya tumbuh lagi. Dan kini kondisinya sangat parah.
“Lakukan yang terbaik untuk anak saya, Dok,” ucap ibunya dengan suara parau.
Dua bulan Raina menjalani perawatan. Kondisinya semakin memburuk hingga dokter menyatakan kalau Raina tidak dapat tertolong. Ibu Raina sangat terpukul. Ia tak menyangka kalau anaknya akan pergi meninggalkan dirinya untuk selama-lamanya. Permintaan terakhir Raina sebelum meninggal. Raina ingin jasadnya dikuburkan tepat di samping ayahnya.
“Takdir Allah memang tidak bisa ditebak. Maut datang tanpa diminta. Semoga tenang di sana Raina. Ibu akan selalu berkunjung ke sini,” ucap ibunya mengusap batu nisan putrinya itu.[]
NUR FAIZAH HASANAH, Lahir di Sumenep, 24 Maret 2003. Sekarang dia seorang pelajar di SMA Nurul Jadid Batang-Batang Daya. Dia anak kedua dari tiga saudara. Memiliki hobi membaca, menulis, dan mengkhayal.
0 Response to "RAINA: Sebuah Cerpen Nur Faizah Hasanah"
Posting Komentar
Tulis Komentar Anda Disini....