RUU HIP Tentang Ekasila dan Trisila itu Tidak Salah, Hanya Saja Kurang Tepat

UU HIP Tentang Ekasila dan Trisila itu Tidak Salah, Hanya Saja Kurang Tepat
UU HIP Tentang Ekasila dan Trisila itu Tidak Salah, Hanya Saja Kurang Tepat
Akhir-akhir ini heboh bertebaran pendapat di internet mengenai RUU HIP yang merinci perasan dasar dari Pancasila yang didasarkan pada pemikiran Soekarno. Pertanyaan yang memprihatinkan kemudian; Bagaimana sebagian anak bangsa tidak tahu gagasan pokok Bapak Pendiri bangsanya sendiri?

Seandainya tidak ada Desoekarnoisasi di masa Orde Baru, bangsa Indonesia sudah selesai membicarakan masalah dasar negara Pancasila. Di saat negara lain sudah asyik bermain perang ekonomi dan dagang, negara kita masih menari-nari dalam lingkaran dasar negara, aliran-aliran, syariah-syariahan, halal haram, dan lain sebagainya. Lalu, bagaimana lingkaran itu tetap bertahan hingga saat ini?

Ekasila, Trisila dan Pancasila Soekarno

Dalam sejarahnya, gagasan Soekarno tentang Ekasila, Trisila, dan Pancasila diusulkan waktu sidang BPUPKI 1 Juni 1945 yang sebagaian cuplikan pidatonya sebagai berikut; 

Pandawa pun lima orangnya. Sekarang banyaknya prinsip: kebangsaan, internasionalisme, mufakat, kesejahteraan, dan ketuhanan, lima pula bilangannya. Namanya bukan Panca Dharma, tetapi saya namakan ini dengan petunjuk seorang teman kita ahli bahasa saya, namanya ialah Pancasila. Sila artinya asas atau dasar, dan di atas kelima dasar itulah kita mendirikan Negara Indonesia, kekal dan abadi.

Atau, barangkali ada saudara-saudara yang tidak suka akan bilangan lima itu? Saya boleh peras, sehingga tinggal 3 saja. Saudara-saudara tanya kepada saya, apakah "perasan" yang tiga itu?

Berpuluh-puluh tahun sudah saya pikirkan dia, ialah dasar-dasarnya Indonesia Merdeka, Weltanschauung kita. Dua dasar yang pertama, kebangsaan internasionalisme, kebangsaan dan perikemanusiaan, saya peras menjadi satu: itulah yang dahulu saya namakan socio-nationalism.

Dan demokrasi yang bukan demokrasi Barat, tetapi politiek-economische democratie, yaitu politieke demokrasi dengan sociale rechtvaardigheid, demokrasi dengan kesejahteraan. Saya peraskan pula menjadi satu: inilah yang dulu saya namakan socio-democratie. Tinggal lagi ketuhanan yang menghormati satu sama lain.

Jadi yang asalnya lima itu telah menjadi tiga, socio-nationalism, socio-democratie, dan ketuhanan. Kalau Tuan senang kepada simbolik tiga, ambillah yang tiga ini. Tetapi Barang kali tidak semua Tuan-tuan senang kepada Trisila ini , dan minta satu-satu dasar saja? Baiklah, saya jadikan satu, saya kumpulkan lagi menjadi satu. Apakah yang satu itu?

Jikalau saya peras yang lima menjadi tiga, dan yang tiga menjadi satu, maka dapatlah saya satu perkataan Indonesia yang tulen, yaitu perkataan "gotong-royong". Negara Indonesia yang kita dirikan Negara gotong royong! Alangkah hebatnya! Negara Gotong Royong ! 

"Gotong Royong" adalah faham yang dinamis, lebih dinamis dari "kekeluargaan ", saudara-saudara! Kekeluargaan adalah satu faham yang statis, tetapi gotong -royong menggambarkan satu usaha, satu amal, satu pekerjaan, yang dinamakan anggota yang terhormat Soekardjo satu karya, satu gawe.

Dari pidato di atas sudah jelas bahwa lima dasar Pancasila adalah gagasan Soekarno. Sebagai Bapak proklamator kemerdekaan sebuah negara, itu adalah gagasan yang hebat, mendasar dan sesuai dengan jati diri bangsa Indonesia.

Desoekarnoisasi

Semua keadaan berbalik ketika pada tahun 1965 terjadi konspirasi dimana PKI dianggap memberontak  dan Kepemimpinan Soekarno diambil alih oleh Soeharto melalui sidang MPR dan Supersemar. Disini Soekarno digulingkan secara sepihak, yang dalang utamanya adalah CIA Amerika.

Pemutusan rantai martabat Soekarno tidak berhenti disana. Soeharto sengaja ingin mencabut jati diri Soekarno hingga akar-akarnya, termasuk Gagasan pemikirannya. Sehingga Soeharto meresmikan 1 Oktober (sehari pasca G30S) sebagai hari kesaktian Pancasila. Soeharto menaruh sebuah paradigma seakan-akan Pancasila di tangannya adalah penyelamat bangsa dari pemberontakan PKI. Padahal, kericuhan terjadi bukan pada 30 September, melainkan 1 Oktober dini hari. Itu artinya Hari Kesaktian Pancasila punya dua mata pedang; Hari Pemberontakan, dan sekaligus Soeharto menjadikan Pancasila sebagai alat untuk membunuh Perumusnya (Soekarno). 

Setelahnya kita tahu bahwa Soeharto mulai menggiring Indonesia menjadi negara Kapitalis, terbukti dengan dibukanya kran Investasi besar-besaran terhadap negara asing, khususnya Amerika dengan Freeport-nya. Dari sanalah negara Indonesia serasa dijual, dan Soeharto dengan bangganya berhutang terhadap IMF atas nama pembangunan.

Dilematika UU HIP

Sebenarnya UU HIP tidak salah, karena sejatinya nilai-nilai Pancasila ada penjabaran dari Filosofi Trisila dan Ekasila gagasan Soekarno. Hanya saja barangkali caranya kurang tepat. Sebagaimana kita tahu bahwa masyarakat Indonesia masih awam dalam hal literasi atau bacaan. Jangankan istilah yang filosofis, baca berita saja masyarakat masih banyak yang termakan oleh hoax. Sehingga diperlukan penanaman pemahaman dari bawah terlebih dahulu. 

Pemerintah semestinya berpikir, bahwa memperbaiki pemerataan pendidikan di masyarakat itu jauh lebih penting dari pada perumusan ideologi yang sebenarnya sudah disepakati pada sidang BPUPKI, bahwa yang diambil adalah 5 poin Pancasila yang lebih terjabarkan dari pada 3 poin Trisila dan Ekasila. Karena jika pendidikan di masyarakat sudah baik dan merata, maka sebenarnya tanpa dijadikan UU HIP pun Ekasila, Trisila dan Pancasila Soekarno akan dipahami dengan sendirinya. 

Selanjutnya adalah Komunikasi. Jika komunikasi dengan masyarakat tidak dimungkinkan karena rendahnya pendidikan mereka (yang sebenarnya tanggung jawab pemerintah), setidaknya perlu adanya perundingan dengan tokoh dari lembaga-lembaga Kredibel sejenis NU dan Muhammadiyah. Sehingga ada surat kesepakatan yang melegitimasi UU HIP dan meredam asumsi liar di masyarakat. 

Semoga kita semua sinergi membangun bangsa, baik masyarakat maupun pemerintah. Sehingga perjalanan bangsa ini tidak dipenuhi dengan kecurigaan kecurigaan semata, pemerintah mencurigai rakyat, rakyat mencurigai pemerintah. Karena memang semua harus sadar pada tanggung jawabnya masing-masing. Rakyat bodoh satunya karena tidak adanya perhatian yang serius di bidang pendidikan. Jika rakyat bodoh dan terbelakang, maka otomatis negara juga akan menghadapi 2 tantangan sekaligus; tekanan kemajuan dari dunia global, tekanan menghadapi pemberontakan dari masyarakat karena ketidaktahuan.[] 

Ali Munir S.

0 Response to "RUU HIP Tentang Ekasila dan Trisila itu Tidak Salah, Hanya Saja Kurang Tepat"

Posting Komentar

Tulis Komentar Anda Disini....

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel