Mengobati Luka: Cerpen Agus Widiey

Mengobati Luka: Cerpen Agus Widiey

Bagaiamana luka ini bisa kujahit kembali, utuh seperti semula, jika kepergianmu untuk selamanya, tapi tak menapa sebab cinta telah membakar jiwa hingga lupa pada negeri asalnya.

Tak ada lebih sakit, selain mengenang senyumanmu dalam bayang yang berdiang di tepi angan, ia begitu pandai merayu setiap detik yang berdetak meski kisah tak kunjung sampai sedang cerita telah selesai. Terkadang aku sangat rindu lentik matamu yang membekaskan rindu setelah bertemu atau lama tak menjumpaimu dari sekian hari ke hari kecoali dalam mimpi.

Dari fajar sampai senja bayangan itu masih jelas kubaca warnanya, sampai malam bertamu tak ada cerita selain dirimu yang masih tersangkut di benakku. Tapi mengapa kamu melangkah, menjauhi hati ini, membentangkan jiwa raga lalu menitipkan luka dalam dada. Padahal setiap purnama sudah kudoakan agar kita bisa hidup bahagia bersama, memadu kasih sampai mati, sebab begitulah cinta yang sejati.

Pernah suatu kali, kamu menitipkan surat dan pesan singkat "Jangan pernah pergi dengan alasan apa lagi karena bosan" sudah cukup surat-surat itu terkhianati dirimu sendiri, tanpa ada pembuktian dan tujuan. 

***

Kini hanya tinggal senja tempat dimana kita saling pandang, saling memuja, saling mesra. Tepat di tepi pantai kita pernah menulis nama menjadi satu hingga nyaris dibisukan ragu. Dalam guratan pasir juga sudah lenyap dihantam gelombang laut yang berdesir.

Sungguh malang nasibku, setelah tiga bulan ditinggalkanmu, sementara perasaanku tak ingin menjauhimu apalagi melupakanmu, mungkin hanya membuatku sengsara, tapi mau bagaimana lagi sesalku tiada guna tak kan mampu membuatmu kembali kepangkuan hati

***

Dan aku masih ingat janji-janjimu yang sebatas mimpi "Aku akan menunggumu sampai kapanpun, aku janji tak akan menjauhimu apalagi meninggalkanmu sendiri" kata-kata itu bergelayut dalam fikiranku apalagi saat kau bilang"Dukamu, duka kita bersama" mana buktinya yang ada aku paling terluka dam kamu bahagia bersama pria yang selama ini menjadi topeng di balik cintaku padamu.

Senja perlahan memudar, memberikan tanda bahwa cintamu akan segera menghindar, memilih laki-laki lain dan meninggalkan cerita duka lara pada dadaku yang kamu bakar sebelum senja

Maka mengalirlah air mataku, serupa sungai tak bertepi, setiap musim berganti, kurayakan dalam hati hingga tercipta sebilah puisi luka dan sunyi. Mungkin hanya puisi yang bisa mengobati masa silam yang tidak pernah berhenti menikam jiwa yang karam.

Sebelumnya aku pernah berpesan agar cinta yang kita jalani lebih baik dihentikan sebab terlalu laki-laki lain yang lebih memberi kepastian, pada saat itu ada laki-laki yang mendatangi rumahmu dan ingin bertunangan denganmu, tapi dirimu tak mau, dan memilih diriku dari pada laki-laki itu.

Ternyata perkiraanku salah kau tak mau hanya ada laki-laki yang bertopeng yang menyelam diantara cinta kita.

***

Dengan ini aku tulis segala kisah kasih yang tak kunjung sampai dalam bait-bait puisi dan prosa. Sebab hanya dengan ini pula, aku bisa mengobati duka lara yang masih membara. Semoga dirumu baik-bai saja di selat sana, dan aku akan baik-baik merawat duka disetiap kata.


Sumenep, 2021

Agus Widiey, Lahir di Batuputih, Sumenep, Madura, 17 Mei 2002. Sekarang masih tercatat sebagai santri aktif pondok pesantren Nurul Muchlishin Pakondang, Rubaru, Sumenep, Madura. Puisi-puisinya tersiar di berbagai media seperti Radar Madura, Cakra Bangsa, Harian Sib, Puisi Alit, dan Puisi Pedia. Antologi puisinya antara lain: Rumah Sebuah Buku(2020) Hidup Itu Puisi (2020) Subuh Terakhir (2020) Seruling Sunyi untuk Mama (2020) Sumpah Pemuda (2021) Merapal Jejak (2021) dan Goresan Kenangan (2021).

0 Response to "Mengobati Luka: Cerpen Agus Widiey"

Posting Komentar

Tulis Komentar Anda Disini....

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel