Episode Camar: Puisi-Puisi Supali Kasim

Episode Camar:  Puisi-Puisi Supali Kasim

Episode Camar

Kunantikan kembali

layar-layar kapal dengan beratus kelasi

bintang-bintang menggugus rasi

di pesisir ini, wahai, aku bukan lagi benua baru

tak ada dunia baru

sebab sudah lama burung-burung camar sukhaekha

luka semesta  

meneteskan ganga arah

aku terbata mengeja sejarah


Bukan pula Marco Polo aku menunggumu

melayar ke timur, ke timur

di tanah india terbentur

akupun tak berharap Vasco da Gama

jika kerinduan hanya pada tanjung

ke India, ke tenggara

hingga camar-camar merobek layarmu  

tapi lukamu bukan kauanggap pilu

pulang mewartakan rempah baru


demikian hanya pesisir yang merindu

Malin Kundang, berdiri senyap ibumu

ayak dan bersujud sehampar benua

antara teluk, selat, ujung yang kausinggah

camar-camar telah lunglai mewarta

akupun kini, wahai, merindu dan menyeru

kepak sayap serupa Hang Tuah  

duabelas penjuru arah

camar-camar membalik semesta


2021


Episode Ombak

Ombak mana lagi yang mendebur

di tanahku sebelum masehi

lalu cerita ini apakah sampai

menjulur dari seberang menjadi gelombang

menjadi ombak, beriak-riak. telah lama

tertulis dalam kitab, karena tersebab

orang-orang selalu meretas

mencari sejati, menemu hakiki


Ombak mana lagi yang membentur

di dusunku cerita ini bertutur

tentang pencarian, ihwal kemanusiaan

sebelum masehi buah-buah nirwana luruh

Assalamu'alaikum, Siddharta

kelanamu bertaut cinta, Kong Hu-Cu

dan Isa, hanya berbagi kasih

dan ombakpun menyiram dahagaku


Lalu ombak mana lagi yang menjulur

di negeriku seusai masehi

pantai ke pantai, pulau ke pulau

dan Muhammad menyinar suri teladan

datanglah mengombak, mengalun gelombang

seperti untaian tasbih. Menyapa dan memeluk 

Gujarat, Parsi, Cina, Hadramaut

tanjung ke tanjung, teluk ke teluk   


: tak selalu ombak itu mencumbu pantaimu

  kadang julur-julurnya telah menghapus cintamu


2021   

  

Episode Rindu

rindu itu tertumpah

menggaris khatulistiwa

ke pulau emas, ke pulau perak. Helai jelai

arah tenggara

berduyun orang-orang memunguti rindumu

memagut kasih sebelum Nalanda

di Sriwijaya. Kapal-kapal menderu

India dan Cina

peradaban dan peradaban

abad delapan


rindu itu terkata

menguntai nuswantara

berukir inkripsi, bertulis prasasti. Butir getir

buah palapa

berderak orang-orang mengeja rindumu

mengejar cahaya sebelum Gajah Mada

di Wilwatika. Pulau-pulau menyeru

itu berbeda satu itu

menjalin dan menderas

abad limabelas


: tak ada lagi rindumu itu

  aku kini hanya satu


2021    


Sketsa Pantai

Di pantaimu, angin hanya kering

dan kepak terakhir burung-burung laut 

ombak segara dan zat-zat kimia 

terus berkejaran. Ikan-ikan

kehidupan semakin berkarat

kau gantung kembali dayung itu

di sela tongkang dan tanker minyak bergerak


Di pantaimu, jiwa makin kering

pada sketsa terakhir matahari terbenam

tanah kelahiran dan langit jelaga 

mengepungmu kembali. Nafasmu makin tersedak 

secepatnya yang terus menebar

kau hitung kembali langkah itu

di sela bunga rumputan atau jerami padi


Di pantaimu, baja dan beton terus bertumbuhan

bertunas plat-plat besi, berbunga kekalutan

hidup makin menepi, mengasingkanmu

menjadi tki, di saudi atau negeri mimpi. Merajut cinta

dengan benang-benang perih, jarum-jarum sunyi

seperti rindu yang membuncah dan berdesing  

di pantai dengan sketsa yang bikin asing


2021 


Ayat-ayat Sejarah

Siapa embuskan kecemasan 

tak berpangkal menikam

jantung kotamu. Karena kini aku yupa 

berjiwa pallawa

menghangat darah Sanskerta, hulu Mahakam

mengalir sungai diam

hingga muara Mulawarman

Ke mana bayangmu kucumbu

entah Citarum entah pohon-pohon tarum

tidak pula mengharu biru 

Pada bidang dada Purnawarman  

hingga tinta itu menulis cinta kitab-kitab

tuna tumbuhan bunga bermekaran

layar-layar mengembang. Antarkan para siswa

dalam diam Sakyakirti, hening mudra Sriwijaya


Mengapa embuskan kecemasan

tak berangin tak berasap menyapu pikiran 

anak-anak kita. Karena kini aku Mada 

tak makan palapa

Pulau-pulau melambai nuswantara

warna pelangi di lengkung akasa  

Hingga tahun-tahun berlalu utuh

tuan tuan berduyun penuh

mengalirkan Parsi, Hadramaut, Gujarat, Champa

bulan dan bintang berpendar. Tapi lautku kini 

tak lagi sepoi angin 

hanya antarkan wangi tanah, harum rempah

antarkan pula aroma mesiu dan peluru

hujan berdesing, tak luka  

tuliskan kembali prasasti karena darah


Selalu saja embuskan kecemasan

tak membaca tak mengeja 

pada luka ayat-ayat sejarah

tetapi kearifan dikandung pada diammu 

: itu berbeda satu sama itu, senyummu

 

2021

TENTANG PENULIS


Supali Kasim, lahir di Indramayu, 15 Juni 1965. Buku puisinya, Bergegas ke Titik Nol (2008), Sesambat (2013), dan buku puisi yang menerima Hadiah Sastera “RancagĂ©” untuk kategori sastera Jawa, Sawiji Dina Sawiji Mangsa (2021). Bergiat di komunitas Peguron Alit, Indramayu. Berdiam di Griya Paoman Asri, Jl. Jati No. 9/B-6 Indramayu, Kode Pos 45211, Jawa Barat, WA 085224102317, email: supaliikasim123@gmail.com.

0 Response to "Episode Camar: Puisi-Puisi Supali Kasim "

Posting Komentar

Tulis Komentar Anda Disini....

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel