MENENUN KISAH: PUISI-PUISI ARDHI RIDWANSYAH

 MENENUN KISAH: PUISI-PUISI ARDHI RIDWANSYAH

MENANTI ASA 

Untuk: Ayu Salma Aulia 


Sejenak berkaca dari pecahan gelas, 

Kala aku menenggak segala kesedihan, 

Dalam satu tarikan napas lalu terbayang, 

Matamu yang menikam jantungku dengan, 

Asa yang dibalut cinta. 


Darah mengalir dari bibirku yang terus merapal, 

Doa-doa tentang keheningan malam yang membunuh kelam, 

Dan seketika sinar rembulan mengetuk kaca jendela, 

Penuh noda hasil dari keluhan selama ini, 

Yang kerap mengendap di dada. 


Rindu melayang, menguar ke udara, 

Sedang jam dinding kian congkak tak peduli, 

Namun aku melukis jiwamu di secarik kertas, 

Dengan diksi aku bercumbu, dengan puisi aku mengaduh, 

Menantimu dengan hati resah. 


Jakarta, 2021 


MENENUN KISAH

Darimu aku belajar menenun kisah, 

Dengan benang yang terbuat dari kasih. 

Kurajut namamu yang ayu dengan hati semanis madu, 

Serta jiwa bagai taman bunga bergumul dengan lebah, 

Dan kupu-kupu begitu elok kepak sayapnya, 

Memikat diri untuk terbang bebas, melangkahkan kaki, 

Ke tempat di mana cinta bersemi. 


Jakarta, 2021


RINDUKU DALAM TUBUH LAUTAN

Telah kubenamkan segala rindu, 

Di dalam tubuh lautan yang kukuh, 

Dengan ombak menari syahdu ketika, 

Hari berganti dan matahari menyinari, 

Permukaan nan gigil. 


Fajar tiba saat mata ini terpaku, 

Menatap gulungan air yang lincah berlari, 

Merongrong jemari kaki ringkih, 

Bersimpuh dengan lirih tentang cinta, 

Yang berakhir perih. 


Sedang isi kepalaku terbang dibawa camar, 

Tengah asyik menerka mangsa, 

Bertengger di bebatuan tepi pantai dengan jiwa. 

Menantang gelombang, memekis ombak, 

Mengitari cakrawala, menembus lambung lautan, 

Santap seekor ikan, pulang memikul harapan.  


Jakarta, 2021 


JASAD DALAM SEONGGOK PUISI 

Parasmu terurai mesra dalam puisiku, 

Yang terjalin dengan kalimat rindu. 

Kata-kata terombang-ambing di tengah lautan,. 


Sedang matamu melirik tepat di sudut kertas bagai seekor camar, 

Yang bercinta di dalam sarang meski gemuruh air, 

Merayunya untuk lekas keluar; memangsa dan terbang, 

Menjamah angkasa. 


Tumpah ruah segenap emosi dalam diksi, 

Senduku menerkam cinta yang mati, 

Terkapar dengan menggenggam janji, 

Yang sedikit demi sedikit luntur, 


Tergerus hujan yang geram akan waktu,

Harus melangkah meski kaki berlumur darah, 

Terus berjalan tanpa arah hingga ombak, 

Membungkus jasadnya, 

Ke perutnya yang sunyi, penuh tanda tanya, 


Jakarta, 2021


HARI YANG KUTUNGGU

O, hari yang kutunggu!

Datanglah dengan keindahanmu, 

Keanggunan yang merayu daku, 

Untuk bergerak seperti ombak, 

Mencium kakimu tanpa ragu, ‘

Lantas menyapa dengan suara syahdu. 


Saat itu kala burung camar beterbangan, 

Melingkari angkasa menatap tajam, 

Tubuh lautan yang berdendang seiring, 

Badai yang menerjang! 


Rinduku terpatri di kapal-kapal tongkang, 

Mengembara dan menjamah permukaan air, 

Yang pilu ditusuk hujan. 


Sedang jiwaku berkarat dan sekarat, 

Menyebut namamu sebagai lambang kerinduanku,

Terkapar di antara ganasnya gigil malam, 

Menanti surya datang menikam kelam. 


Jakarta, 2021


PESAN DUKACITA DARI SANG CAMAR

Kubuka sebuah pintu, 

Lari, lari, lari! 

Lautan darah mengejarku! 

Ingin menerkam! 

Ingin mencabik! 


Penuh nafsu, dengan ambisi, 

Yang tertuang dalam gemuruh penuh emosi. 

Apa aku akan selamat? 


Langkah kaki tak berhenti, 

Meski raga telah lelah, dan ketakutanku, 

Kian menjadi. Sakit dan perih terasa di dada, 

Bersua ajal dengan hati terluka!


Saat jasad dibelai ombak yang rindu, 

Tingkahku di atas permukaan yang keruh, 

Serta amis begitu menusuk hidung, 

Mual menyembul dalam diri, mengoyak perut, 

Sekumpulan camar keluar, terbang bebas, 

Sampaikan dukacita untuk semesta. 


Jakarta, 2021


KEPING KENANGAN 

Tidur tenang masuk ke alam mimpi, 

Terlihat para jasad membusuk dengan hati yang sepi, 

Matanya kosong, tubuhnya kerontang dengan cinta, 

Yang juga mati; dikerubungi lalat hijau yang genit. 


Satu per satu mereka dilempar angin, 

Disambut hujan di tengah lautan yang beringas, 

Serta ombak dengan tangkas melumatnya, 

Jadi keping kenangan. 


Sedang camar mengitari angkasa, 

Dengan asa, terbang menungkik tajam, 

Menyambar keping kenangan sebagai santapan, 

Hingga segalanya musnah, tersisa rindu, 

Sebagai tulang belulang.yang terserak, 

Di mata yang sendu. 


Jakarta, 2021

TENTANG PENULIS


Ardhi Ridwansyah kelahiran Jakarta, 4 Juli 1998. Tulisan esainya dimuat di islami.co. terminalmojok.co, tatkala.co, nyimpang.com, nusantaranews.co, pucukmera.id, ibtimes.id., dan cerano.id. Puisinya “Memoar dari Takisung” dimuat di buku antologi puisi “Banjarbaru’s Rainy Day Literary Festival 2019”. Puisinya juga dimuat di media seperti kawaca.com, catatanpringadi.com, apajake.id, mbludus.com, kamianakpantai.com, literasikalbar, ruangtelisik, sudutkantin.com, cakradunia.co, marewai, metafor.id, scientia.id, LPM Pendapa, metamorfosa.co, morfobiru.com, Majalah Kuntum, Majalah Elipsis, Radar Cirebon, Radar Malang, koran Minggu Pagi,  Harian Bhirawa, Dinamika News, Harian SIB, Harian BMR FOX, dan Harian Fajar. Penulis buku antologi puisi tunggal Lelaki yang Bersetubuh dengan Malam. Salah satu penyair terpilih dalam “Sayembara Manuskrip Puisi: Siapakah Jakarta”.   E-Mail: ardhir81@gmail.com, Instagram: @ardhigidaw, FB: Ardhi Ridwansyah, Whatsaap: 087819823958. 

0 Response to "MENENUN KISAH: PUISI-PUISI ARDHI RIDWANSYAH"

Posting Komentar

Tulis Komentar Anda Disini....

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel